Selasa, 23 April 2013

Buku, Yang Kelam dan Nanti

(Refleksi Peringatan Hari Buku Sedunia 23 April 2013)

Irsan
Dalam sejarah peradaban manusia, buku merupakan salah satu faktor yang sangat penting sebagai sebuah warisan pengetahuan yang akan terus dilestarikan. Dengan buku, orang-orang yang bergelut didunia intelektual dan dunia tulis-menulis dapat menyampaikan ide atau pikirannya. Ketika wacana mereka telah termuat dalam kompilasi tulisan dan dibingkai menjadi buku maka sesungguhnya dia telah melahirkan konstribusi karya untuk generasi selanjutnya atau orang-orang yang butuh informasi dan pengetahuan.
Jauh sebelum Indonesia meraih kemerdekaan, buku telah menjadi sebuah bacaan yang menginspirasikan perjalanan para tokoh-tokoh nasional dibangsa ini dalam mewujudkan kemerdekaan, seperti halnya Soekarno dan Moh Hatta. Mereka adalah orang-orang yang nampak berbeda daripada yang lain karena ketekunannya dalam mempelajari wacana-wacana pada buku yang dibacanya. Terlepas dari wacana berbagai aliran, muatan buku memang memungkinkan manusia terpengaruh dalam menjalani kehidupannya menuju kedewasaan berpikir maupun perilaku seseorang.
Buku telah menjadi media yang mampu menghegemoni para pembacanya. Namun dalam sejarah Indonesia, buku juga pernah menjadi sesuatu yang dianggap berbahaya bagi sebuah rezim yang berkuasa. Di mulai dari era pemerintahan kolonialisme Belanda, dimana buku yang dicap sebagai bacaan liar kemudian dibredel oleh pemerintah kolonial melalui Commisie voor de Inlandsche School en Volkslektuur atau komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat. Buku yang tidak sesuai dengan ideologi pemerintah kolonial dianggap liar sehingga buku-buku pada saat itu diawasi dan diseleksi melalui Balai Pustaka. Setelah Indonesia merdeka, pelarangan bukupun kembali muncul di era Soekarno, dimana buku-buku yang dianggap menganggu pembangunan atau melanggar asas pancasila dianggap terlarang. Namun puncaknya pada pemerintahan orde baru yang memberangus semua buku-buku yang berhaluan “kiri” karena dianggap mengajarkan paham komunisme, marxisme, dan leninisme. Setelah PKI dianggap mengkhianati NKRI maka untuk membendung munculnya kembali komunisme maka dilakukanlah pelarangan buku-buku kiri oleh rezim orde baru melalui kejaksaan agung. Tak hanya buku yang dibakar tapi juga penulisnya dimasukkan dalam bui, nasib tragis itu yang paling dirasakan oleh sastrawan yang melegenda Pramudya Ananta Toer.
Setelah rezim orde baru runtuh dengan memasuki era reformasi, maka kebebasan berekspresi di Indonesia ditandai dengan banyaknya penerbit-penerbit alternatife yang muncul dalam menerbitkan buku. Tidak hanya itu, buku-buku yang dilarang pada masa kekuasaan pemerintahan Soeharto menjadi bestseller pada saat reformasi, terutama buku-buku Pramudya Ananta Toer yang paling banyak dicari. Namun, kebebasan mengeluarkan pendapat kembali dipersoalkan dengan dilaranganya buku-buku yang dianggap mengancam stabilitas Negara dan menganggu ketertiban umum atau memiliki sensitif unsur politik dan SARA seperti buku “Gurita Cikeas”. Belum lama ini, 13 Juni 2012 tahun lalu pembakaran buku 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia kembali terulang dengan anggapan memuat muatan yang menyesatkan. Melalui anjuran MUI dan desakan FPI, Gramedia pun kemudian memutuskan untuk membakar buku tersebut. Ini tentu merupakan tindakan yang menentang kebebasan berpendapat dan jelas melanggar keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah mencabut PNPS No. 4 Tahun 1963 pada tanggal 14 Oktober 2010. Robertus Robet menyatakan bahwa kasus pelarangan buku di istilahkan librisida atau ‘pembunuhan terhadap buku’. Librisida tidak hanya pernah terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di Negara lain seperti Taliban di Afganistan dan Jerman dibawah kekuasaan rezim Nazi Hitler.
Akankah peristiwa itu tejadi lagi ? Bagi sebagian orang yang merasakan wacananya dilarang atau dianggap berbahaya oleh pemerintahan rezim SBY saat ini, tentu mengharapkan kisah pelarangan buku tersebut tidak terjadi lagi sehingga buku mereka yang “kritis” mendapatkan tempat di hati pembaca. Jikapun memang dianggap kontroversi setidaknya “dilawan” dengan wacana pula melalui buku. Namun saat ini juga agak susah sebab buku-buku yang memiliki wacana kritis sangat sedikit peminatnya hanya pada akademisi atau kaum intelektual. Kurangnya peminat buku seperti itu dipengaruhi oleh cara berpikir sebagian masyarakat yang praktis dan pragmatis. Disisi lain, penerbit banyak yang berorientasi pada profit (menyesuaikan pangsa pasar) ketimbang memilih gagasan yang kurang diminati dan kadangkala takut menerbitkan buku yang isinya kontroversial.
Selain itu pula, perkembangan teknologi informasi telah memanjakan masyarakat sehingga bagi sebagian orang yang ingin mendapatkan informasi melalui dunia maya lebih praktis dan cepat. Fenomena ini membuat masyarakat cenderung memilih bacaan melalui internet (electronic book) dibandingkan membuka buku dengan lembaran-lembaran kertasnya. Meskipun demikian tidak berarti bahwa buku akan di tinggalkan, sebab masyarakat belum semuanya memiliki teknologi informasi, namun yang menyulitkan masyarakat ialah mahalnya harga buku di pasaran. Sehingga orang yang memiliki banyak koleksi buku hanya menjadi sebuah “pembeda” dengan orang yang lain. Padahal buku yang sifat “kritis”, orang lebih cenderung untuk memiliki/membeli dari pada membaca sedikit-sedikit.
Sejarah kelam dan kondisi perbukuan sekarang merupakan kondisi yang perlu untuk dipikirkan oleh pemerintah. Selain itu, buku harus menjadi bacaan untuk semua kalangan dan bukan hanya pada sebagian orang. Sehingga buku dapat mengjangkau orang-orang terpinggirkan, kurang mampu, dan dipelosok pelosok tanah air. Sekiranya buku itu mudah dijangkau dengan biaya yang murah mungkin masyarakat tidak menjadikan buku sebagai bacaan untuk kalangan tertentu. Selain itu pula, pemerintah perlu mempebanyak dan memperhatikan perpustakaan/taman bacaan sebagai tempat membaca buku yang gratis tanpa membedakan golongan manusia.
Pada akhirnya momentum peringatan hari buku sedunia ini perlu kita renungkan dan kita jadikan sebagai spirit untuk terus berkarya dalam menerbitkan buku dan berharap tidak tejadi lagi pelarangan buku di Indonesia kedepannya. Tidak sekedar merayakannya, namun yang terpenting adalah bagaimana buku dijadikan sebagai sebuah alat untuk membangun sumber daya manusia yang cerdas, sehingga pembangunan bangsa juga bisa terwujudkan. Kita juga mengharapkan bahwa melalui buku akan terlahir tokoh-tokoh nasional yang inspiratif yang bisa dibanggakan kelak.
Irsan (Penulis) adalah mahasiswa Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar